BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Perusahaan pasti mempunyai aktiva
tidak berwujud yang digunakan untuk kegiatan operasional perusahaan. Aktiva tak
berujud adalah hak, hak istimewa dan keuntungan kompetitif yang timbul dari
pemilikan suatu aktiva yang berumur panjang, yang tidak memiliki wujud fisik
tertentu. Bukti pemilikan aktiva tak berujud bisa berupa kontrak, lisensi atau
dokumen lain. Dimana Aktiva tidak
berwujud merupakan bagian dari Aset Nonlancar lainnya yang di
neraca diklasifikasikan dan disajikan sebagai Aset Lainnya.
Dengan
penjelasan yang sangat minim ini tentu saja berpotensi pada kurang akuratnya
pencatatan terhadap transaksi Aktiva tidak berujud
tersebut. Sebagai bagian dari neraca, aktiva tidak berwujud juga memerlukan standar akuntansi untuk memberi
penjelasan yang terkait dengan pengakuan, pengukuran, serta pengungkapan dan
penyajian dalam laporan keuangan. Selain itu juga terdapat kemungkinan adanya
perlakuan khusus, contohnya yang terkait dengan amortisasi dan penghentian
serta penghapusannya. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kelompok
kami membuat makalah yang berjudul “Aktiva Tidak Berwujud”.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Aktiva Tidak Berwujud
Aktiva
tidak berwujud adalah aktiva tetap perusahaan yang secara fisik tidak dapat
dinyatakan. syarat-syarat aktiva tidak berwujud adalah :
·
Ada hak mutlak
·
Ada keistimewaan
tertentu
·
Ada pengeluaran biaya
Contoh aktiva tidak berwujud adalah hak paten,
hak cipta, hak merek, franchise, hak guna usaha,hak guna bangunan, goodwill,
trade mark, biaya riset dan pengembangan biaya ditangguhkan serta hak
pengusahaan sumber alam.
Berdasarkan
masa manfaatnya, aktiva tidak berwujud terbagi atas :
Ø Aktiva
tidak berwujud yang masa manfaatnya dibatasi oleh undang-undang. Misalnya, hak
paten,hak cipta, dan franchise.
Ø Aktiva
tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak dibatasi oleh undang-undang.
Misalnya, goodwill dan merek dagang.
Aktiva
tidak berwujud dapat diperoleh melalui pembelian atau dikembangkan sendiri oleh
perusahaan. Apabila suatu aktiva tidak berwujud diperoleh dengan membeli dari
pihak luar, maka disamping harga beli yang termasuk sebagai harga perolehan
(cost) adalah biaya-biaya tambahan untuk mendapatkannya seperti biaya yang
dibayarkan kepada pemerintah dan notaries serta biaya administrasi yang
berhubungan.
Apabila
suatu aktiva tidak berwujud diperoleh dengan jalan mengembangkan sendiri, maka termasuk
dalam harga perolehan adalah biaya-biaya bahan, peralatan, dan fasilitas, biaya
gaji dan biaya upah dan biaya tidak langsung misalnya alokasi biaya
administrasi dan umum.
Aktiva tidak
berwujud mungkin timbul dari:
1. Pemerintah
seperti hak paten, hak cipta, franchise, merek dagang, dan nama dagang.
a. Hak
paten
Kata
paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari
kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan
juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang
dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku
bisnis tertentu.
Dari
definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka
pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat
hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur
siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap
sebagai hak monopoli.
Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil
penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri. Invensinya tersebut atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun
2001, ps. 1, ay. 1).
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang
terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut,
adalah):
·
Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu
kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa
produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU
14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
·
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa
orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide
yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001,
ps. 1, ay. 3)
Hukum yang mengatur
Saat ini
terdapat beberapa perjanjian internasional
yang mengatur tentang hukum paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang
diikuti hampir semua negara.
Pemberian hak
paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat
hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan
paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi
paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang
dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor Paten Eropa, yang jika sukses, sang
pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten (hingga 36 paten,
masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang berlaku
di seluruh wilayah Eropa.
Subjek
yang dapat dipatenkan
Secara umum, ada
tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan
barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma,
metode bisnis,
sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis,
teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus.
Barang yang
diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi
materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA,
dan sebagainya. Khusus Sel punca embrionik manusia (human embryonic stem atau
hES) tidak bisa dipatenkan di Uni Eropa.
Kebenaran
matematika, termasuk yang tidak dapat dipatenkan. Software yang
menerapkan algoritma juga tidak dapat dipatenkan kecuali terdapat aplikasi
praktis (di Amerika Serikat) atau efek teknikalnya (di Eropa).
Saat ini,
masalah paten perangkat lunak (dan juga metode
bisnis) masih merupakan subjek yang sangat kontroversial. Amerika Serikat dalam
beberapa kasus hukum di sana, mengijinkan paten untuk software dan
metode bisnis, sementara di Eropa, software dianggap tidak bisa
dipatenkan, meski beberapa invensi yang menggunakan software masih tetap
dapat dipatenkan.
Paten yang berhubungan
dengan zat alamiah (misalnya zat yang ditemukan di hutan rimba) dan juga
obat-obatan, teknik penanganan medis dan
juga sekuens genetik, termasuk juga subjek yang
kontroversial. Di berbagai negara, terdapat perbedaan dalam menangani subjek
yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, di Amerika Serikat, metode bedah dapat
dipatenkan, namun hak paten ini mendapat pertentangan dalam prakteknya.
Mengingat sesuai prinsip sumpah Hipokrates (Hippocratic Oath), dokter wajib
membagi pengalaman dan keahliannya secara bebas kepada koleganya. Sehingga pada
tahun 1994, The American Medical Association (AMA) House of Delegates
mengajukan nota keberatan terhadap aplikasi paten ini.
Di Indonesia,
syarat hasil temuan yang akan dipatenkan adalah baru (belum pernah diungkapkan
sebelumnya), mengandung langkah inventif (tidak dapat diduga sebelumnya), dan
dapat diterapkan dalam industri. Jangka waktu perlindungan untuk paten ‘biasa’
adalah 20 tahun, sementara paten sederhana adalah 10 tahun. Paten tidak dapat
diperpanjang. Untuk memastikan teknologi yang diteliti belum dipatenkan oleh
pihak lain dan layak dipatenkan, dapat dilakukan penelusuran dokumen paten. Ada
beberapa kasus khusus penemuan yang tidak diperkenankan mendapat perlindungan
paten, yaitu proses / produk yang pelaksanaannya bertentangan dengan
undang-undang, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan; metode
pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap
manusia dan/atau hewan; serta teori dan metode di bidang matematika dan ilmu
pengetahuan, yakni semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses
biologis penting untuk produksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis
atau proses mikro-biologis.
Istilah - Istilah dalam Paten
- Invensi
Adalah ide inventor yang dituangkan
ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi,
dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau
proses.
- Inventor atau pemegang Paten
Inventor adalah seorang yang secara
sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang
dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Pemegang paten adalah
inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari
pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang
terdaftar dalam daftar umum paten.
- Hak yang dimiliki oleh pemegang Paten
Pemegang hak paten memiliki hak eklusif untuk
melaksanakan Paten yang dimilikinya dan melarang orang lain yang tanpa
persetujuannya :
a. Dalam hal Paten Produk : membuat, menjual,
mengimpor, menyewa, menyerahkan, memakai, menyediakan untuk di jual atau
disewakan atau diserahkan produk yang di beri paten.
b. Dalam hal Paten Proses : Menggunakan proses
produksi yang diberi Paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana
yang dimaksud dalam huruf a.
Ø Pemegang
Paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan surat perjanjian
lisensi.
Ø Pemegang Paten
berhak menggugat ganti rugi melalui pengadilan negeri setempat, kepada
siapapun, yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam butir 1 di atas.
Ø Pemegang
Paten berhak menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak
pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana yang dimaksud
dalam butir 1 di atas.
- Pengajuan Permohonan Paten
Paten diberikan atas dasar
permohonan dan memenuhi persyaratan administratif dan subtantif sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Paten.
- Sistem First to File
Adalah suatu sistem pemberian Paten
yang menganut mekanisme bahwa seseorang yang pertamakali mengajukan permohonan
dianggap sebagai pemegang Paten, bila semua persyaratannya dipenuhi.
- Kapan
sebaiknya permohonan Paten diajukan ?
Suatu permohonan Paten sebaiknya
diajukan secepat mungkin, mengingat sistem Paten Indonesia menganut sistem
First to File. Akan tetapi pada saat pengajuan, uraian lengkap penemuan harus
secara lengkap menguraikan atau mengungkapkan penemuan tersebut.
- Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh seorang
Inventor sebelum mengajukan permohonan Paten ?
a) Melakukan
penelusuran. Tahapan ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang
teknologi terdahulu dalam bidang invensi yang sama (state of the art) yang
memungkinkan adanya kaitannya dengan invensi yang akan diajukan. Melalui
informasi teknologi terdahulu tersebut maka inventor dapat melihat perbedaan
antara invensi yang akan diajukan permohonan Patennya dengan teknologi
terdahulu.
b) Melakukan
Analisis. tahapan ini dimaksudkan untuk menganalisis apakah ada ciri khusus
dari invensi yang akan diajukan permohonan Patennya dibandingkan dengan Invensi
terdahulu.
c) Mengambil
Keputusan. Jika invensi yang dihasilkan tersebut mempunyai ciri teknis
dibandingkan dengan teknologi terdahulu, maka invensi tersebut sebaiknya
diajukkan permohonan Patennya.Sebaliknya jika tidak ditemukan ciri khusus, maka
invensi tersebut sebaiknya tidak perlu diajukan untuk menghindari kerugian dari
biaya pengajuan permohonan Paten.
b. Hak Cipta
Adalah hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil
penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan
"hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan.
Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta
berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau
"ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis
lainnya, film,
karya-karya koreografis
(tari, balet, dan
sebagainya), komposisi
musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat
lunak komputer, siaran
radio dan televisi, dan
(dalam yurisdiksi tertentu) desain
industri.
Hak cipta merupakan
salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak
cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang
memberikan hak monopoli
atas penggunaan invensi),
karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu,
melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur
hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan
tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang
mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak
cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan
salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu
ciptaan Walt
Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain
mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia,
masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang
berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang
tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
·
Sejarah hak cipta
Konsep hak cipta
di Indonesia
merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa
Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright
ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak.
Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya
tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan
karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang,
yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya
cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak
monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak.
Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada
tahun 1710 dengan Statute of Anne di
Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan
tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa
penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi
jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa
berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun,
yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau
"Konvensi
Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright
antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan
secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan
karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya
dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak
eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya
derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Sejarah
hak cipta di Indonesia
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda
menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi
Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta,
dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan
tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun
1912 dan menetapkan
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan
undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1].
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997,
dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan
undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia
dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah
meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World
Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related
Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang
Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi
Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World
Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak
Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Hak eksklusif
Beberapa hak
eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud
dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak
lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak
cipta.
Konsep tersebut
juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta
termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan,
mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada
publik melalui sarana apapun".
Selain itu,
dalam hukum yang
berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan
hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan
sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur
pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau
disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab
VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman
suara nyanyiannya.
Hak-hak
eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya
dengan pewarisan atau perjanjian
tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan
pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan
persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
Hak
ekonomi dan hak moral
Banyak negara
mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai
penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter
alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi
Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau
dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan
tersebut.
Hak cipta di
Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak
moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas
ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau
pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa
pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan. Contoh pelaksanaan
hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak
cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak
moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Hak cipta gambar potret "penduduk asli Bengkulu"
yang diterbitkan pada tahun 1810 ini sudah habis masa berlakunya.
Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah
memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta
biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini
dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
Perolehan
hak cipta
Setiap negara
menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana
suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya,
suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan
usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi
Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui
pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam
bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video, atau surat), pemegang hak
cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu
ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran
ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada
yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta
yang sah.
Pemegang hak
cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta
itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas.
Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs
and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam
undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip
tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang
dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program
komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga
yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, lagu
atau musik dengan
atau tanpa teks, drama,
drama musikal, tari, koreografi,
pewayangan, pantomim, seni rupa
dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat,
seni
patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur,
peta, seni batik (dan karya
tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi,
dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan
hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai
(misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam
dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database
dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan
asli (UU 19/2002 pasal 12).
Penanda
hak cipta
Dalam yurisdiksi
tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan
tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright
notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di
dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright",
yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan
tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak
ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan
lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta
tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut
berhak cipta.
Pada
perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi,
terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada
sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka
kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi
anggota Konvensi Bern.
Lambang ©
merupakan lambang Unicode
00A9 dalam heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©, ©, atau ©
Jangka
waktu perlindungan hak cipta
Hak cipta
berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi
yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat
bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan
atau tidak diterbitkan. Di Amerika
Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain
yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka
waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50
tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara
umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun
bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia,
jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup
penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali
diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama
kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral
pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh
Negara atas folklor
dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
Penegakan hukum atas
hak cipta
Penegakan hukum
atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum
perdata, namun ada pula sisi hukum
pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang
serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana
atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling
singkat satu bulan
dan paling lama tujuh tahun
yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu
juta rupiah dan
paling banyak lima miliar
rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak
cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut
dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
Perkecualian dan batasan hak cipta
Perkecualian hak
cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam
hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use
atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan
perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam
Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia,
beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18).
Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila
sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas
untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya,
kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu
pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam
hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam
menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan
ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus
untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang
dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan
sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit
jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program
komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya,
untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri
Selain itu,
Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau
mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan
umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran
ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun
menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan
gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan
negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku
dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)].
ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka
orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan.
Menurut UU No.19
Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara, peraturan
perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau
penetapan hakim,
ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya
(misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika
Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum,
yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang
Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu
kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta.
Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun
sebagian dari kantor berita, lembaga
penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan
sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Pendaftaran hak cipta di Indonesia
Di Indonesia,
pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang
hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu
ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun demikian, surat
pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan
apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan. Sesuai yang diatur
pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di
bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak
cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI.
Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2).
Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di
kantor maupun situs web
Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar
dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai
biaya.
Lisensi Hak Cipta
Lisensi adalah
izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada
pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak
terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Kritik atas konsep hak cipta
Kritikan-kritikan
terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi
yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat
serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas,
dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar
sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi
baru.
Keberhasilan
proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla
Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa
ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli
berlandaskan hak cipta.
Produk-produk
tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang
dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif
yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft
atau lisensi perangkat lunak bebas.
c. merek
Merek atau merek
dagang adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk/jasa dan
menimbulkan arti psikologis/asosiasi.
Jenis- Jenis Merek
- Merek
Dagang
Merek dagang adalah merek yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang
sejenis lainnya.
- Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang
digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang
secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis
lainnya.
- Merek Kolektif
Merek kolektif adalah merek yang
digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Berbeda dengan produk sebagai
sesuatu yg dibuat di pabrik, merek dipercaya menjadi motif pendorong konsumen
memilih suatu produk, karena merek bukan hanya apa yg tercetak di dalam produk
(kemasannya), tetapi merek termasuk apa yg ada di benak konsumen dan bagaimana
konsumen mengasosiasikannya.
Menurut David A. Aaker, merek adalah
nama atau simbol yang bersifat membedakan (baik berupa logo,cap/kemasan) untuk
mengidentifikasikan barang/jasa dari seorang penjual/kelompok penjual tertentu.
Tanda pembeda yang digunakan suatu badan usaha
sebagai penanda identitasnya dan produk barang atau jasa yang dihasilkannya
kepada konsumen,
dan untuk membedakan usaha tersebut maupun barang atau jasa yang dihasilkannya
dari badan usaha lain.
Merek merupakan kekayaan industri
yang termasuk kekayaan intelektual.
Secara konvensional, merek dapat
berupa nama, kata, frasa, logo, lambang, desain, gambar, atau kombinasi dua atau lebih unsur
tersebut.
Di Indonesia,
hak merek dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Jangka waktu
perlindungan untuk merek adalah sepuluh tahun dan berlaku surut sejak tanggal
penerimaan permohonan merek bersangkutan dan dapat diperpanjang, selama merek
tetap digunakan dalam perdagangan.
Fungsi Merek
- Tanda Pengenal untuk membedakan hasil produksi
yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya.
- Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan
hasil produksinya cukup dengan menyebutkan mereknya.
- Sebagai jaminan atas mutu barangnya.
- Menunjukkan asal barang/jasa dihasilkan.
Pendaftaran Merek
Yang dapat mengajukan pendaftaran merek adalah :
- Orang (persoon)
- Badan Hukum (recht persoon)
- Beberapa orang atau badan hukum (pemilikan
bersama)
Fungsi Pendaftaran Merek
- Sebagai alat bukti bagi pemilik yang berhak atas
merek yang didaftarkan.
- Sebagai dasar penolakan terhadap merek yang sama
keseluruhan atau sama pada pokoknya yang dimohonkan pendaftaran oleh orang
lain untuk barang/jasa sejenis.
- Sebagai dasar untuk mencegah orang lain memakai
merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk
barang/jasa sejenis.
Hal-Hal yang Menyebabkan Suatu Merek Tidak Dapat di
Daftarkan
- Didaftarkan oleh pemohon yang tidak beritikad
baik.
- Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, moralitas keagamaan, kesusilaan, atau ketertiban umum.
- Tidak memiliki daya pembeda
- Telah menjadi milik umum
- Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang
atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. (Pasal 4 dan Pasal 5 UU Merek).
Ekuitas merek
Ekuitas Merek (bahasa Inggris: brand equity) adalah seperangkat aset dan keterpercayaan
merek yang terkait
dengan merek tertentu, nama dan atau simbol, yang mampu menambah atau
mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa, baik bagi
pemasar/perusahaan maupun pelanggan.
Bagi pelanggan,
ekuitas merek dapat memberikan nilai dalam memperkuat pemahaman mereka akan
proses informasi, memupuk rasa percaya diri dalam pembelian, serta meningkatkan
pencapaian kepuasan. Nilai ekuitas merek bagi pemasar/perusahaan dapat
mempertinggi keberhasilan program pemasaran dalam memikat konsumen baru atau
merangkul konsumen lama. Hal ini dimungkinkan karena dengan merek yang telah
dikenal maka promosi yang dilakukan akan lebih efektif.
Empat dimensi ekuitas merek
- Pengetahuan
akan merek (brand awareness)
- Kualitas yang dipercaya dikandung sebuah merek
- Asosiasi-asosiasi
- Kesetiaan merek (brand loyalty)
Keempat dimensi ekuitas merek
dipercaya dapat memengaruhi alasan pembelian konsumen. Ketiga dimensi pertama
yaitu pengetahuan akan merek, kualitas yang dipercaya, dan asosiasi-asosiasi
dianggap penting dalam proses pemilihan merek, ketiganya dapat mengurangi
keinginan atau rangsangan konsumen untuk mencoba-coba merek lain (kesetiaan
merek).
Franchise
Waralaba (Inggris: Franchising;Prancis:
Franchise) untuk kejujuran atau kebebasan) adalah hak-hak untuk menjual
suatu produk atau jasa maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah
Indonesia, yang dimaksud dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu
pihak diberikan hak memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI) atau pertemuan
dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan
dan atau penjualan barang
dan jasa.
Sedangkan
menurut Asosiasi
Franchise Indonesia, yang dimaksud dengan Waralaba ialah:
Suatu sistem
pendistribusian barang
atau jasa kepada
pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada
individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama,
sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya dalam jangka
waktu tertentu meliputi area tertentu.
Franchisor dan franchisee
Selain pengertian waralaba, perlu
dijelaskan pula apa yang dimaksud dengan franchisor dan franchisee.
- Franchisor atau pemberi waralaba, adalah badan
usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual
atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.
- Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan
usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau
menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
yang dimiliki pemberi waralaba.
Sejarah Waralaba
Waralaba diperkenalkan pertama kali
pada tahun 1850-an oleh Isaac Singer, pembuat mesin jahit Singer, ketika ingin
meningkatkan distribusi penjualan mesin jahitnya. Walaupun usahanya tersebut
gagal, namun dialah yang pertama kali memperkenalkan format bisnis waralaba ini
di AS. Kemudian, caranya ini diikuti oleh pewaralaba lain yang lebih sukses,
John S Pemberton, pendiri Coca Cola. Namun, menurut sumber lain, yang mengikuti
Singer kemudian bukanlah Coca Cola, melainkan sebuah industri otomotif AS, General
Motors Industry ditahun 1898. Contoh lain di AS ialah sebuah sistem telegraf,
yang telah dioperasikan oleh berbagai perusahaan jalan kereta api, tetapi
dikendalikan oleh Western Union serta persetujuan eksklusif antar pabrikan
mobil dengan penjual.
Mc Donalds,
salah satu pewaralaba rumah makan siap saji terbesar di dunia
Waralaba saat ini lebih didominasi
oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini
dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restoran cepat
sajinya. Pada tahun 1935,
Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli
usaha restoran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk
mandiri menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo dan bahkan
membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya,
sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama di tahun l950-an
yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business
format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua.
Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negara asalnya, AS,
menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis diberbagai bidang
usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada di AS.
Sedangkan di Inggris,
berkembangnya waralaba dirintis oleh J. Lyons melalui usahanya Wimpy
and Golden Egg, pada tahun 60-an. Bisnis waralaba tidak mengenal
diskriminasi. Pemilik waralaba (franchisor) dalam menyeleksi calon mitra
usahanya berpedoman pada keuntungan bersama, tidak berdasarkan SARA.
Kategori waralaba berbeda-beda
antara lain : franchise dalam bentuk makanan, pendidikan dan lain-lain.
salah satu bentuk nya adalah dan masih banyak lagi franchise yang berkembang di
Indonesia ini.
Jenis waralaba
Waralaba dapat dibagi menjadi dua:
- Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai
karena sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan
dirasakan lebih bergengsi.
- Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu
pilihan investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha
tetapi tidak memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha
ini yang disediakan oleh pemilik waralaba.
Biaya waralaba
Biaya waralaba meliputi:
- Ongkos
awal, dimulai dari Rp. 10 juta hingga Rp. 1 miliar. Biaya ini meliputi
pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemilik waralaba untuk membuat tempat
usaha sesuai dengan spesifikasi franchisor dan ongkos penggunaan HAKI.
- Ongkos
royalti, dibayarkan pemegang waralaba setiap bulan dari laba operasional.
Besarnya ongkos royalti berkisar dari 5-15 persen dari penghasilan kotor.
Ongkos royalti yang layak adalah 10 persen. Lebih dari 10 persen biasanya
adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemasaran yang perlu
dipertanggungjawabkan.
Waralaba di Indonesia
Di Indonesia,
sistem waralaba mulai dikenal pada tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer
kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada
tahun 1970-an, yaitu dengan dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee
tidak sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi
produknya. Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan utama
yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat baik
bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat
bahwa di negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang
pesat, misalnya di AS dan Jepang. Tonggak
kepastian hukum
akan format waralaba di Indonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun
1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba ini telah dicabut
dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba. Selanjutnya
ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam format bisnis
waralaba adalah sebagai berikut:
- Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang Ketentuan Tata Cara
Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
- Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
- Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang.
Banyak orang masih skeptis dengan
kepastian hukum terutama dalam bidang waralaba di Indonesia. Namun saat ini
kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis waralaba jauh lebih baik
dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum
yang dapat melindungi bisnis waralaba tersebut. Perkembangan waralaba di
Indonesia, khususnya di bidang rumah makan siap saji sangat pesat. Hal ini ini
dimungkinkan karena para pengusaha kita yang berkedudukan sebagai penerima
waralaba (franchisee) diwajibkan mengembangkan bisnisnya melalui master
franchise yang diterimanya dengan cara mencari atau menunjuk penerima
waralaba lanjutan. Dengan mempergunakan sistem piramida atau
sistem sel, suatu jaringan format bisnis waralaba akan terus berekspansi. Ada
beberapa asosiasi waralaba di Indonesia antara lain APWINDO (Asosiasi Pengusaha
Waralaba Indonesia), WALI (Waralaba & License Indonesia), AFI (Asosiasi
Franchise Indonesia). Ada beberapa konsultan waralaba di Indonesia antara lain
IFBM, The Bridge, Hans Consulting, FT Consulting, Ben WarG Consulting, JSI dan
lain-lain. Ada beberapa pameran Waralaba di Indonesia yang secara berkala
mengadakan roadshow diberbagai daerah dan jangkauannya nasional antara lain
International Franchise and Business Concept Expo (Dyandra),Franchise License
Expo Indonesia ( Panorama convex), Info Franchise Expo ( Neo dan Majalah
Franchise Indonesia).
Tingkat pengembalian
Tingkat pengembalian yang layak dari
sebuah waralaba adalah minimum 15 persen dari nilai.
2. Perusahaan
lain, misalnya pembelian yang mencakup pembayaran untuk goodwill.
Goodwill
merupakan bagian dari aktiva dalam neraca, yang mencerminkan kelebihan pembayaran atas aktiva yang
dibutuhkan perusahaan dibandingkan dengan nilai pasar. Atau aktiva tak
berwujud yang merepresentasikan jumlah yang lebih besar dari nilai buku
yang dibayar oleh suatu perusahaan untuk mendapatkan perusahaan lain. Secara
teoritis, merupakan nilai sekarang dari kelebihan laba suatu perusahaan
pada masa yang akan datang dalam suatu industri. Nilainya sama dengan harga
pembelian dikurangi nilai buku dari aktiva neto perusahaan yang diinginkan
dikurangi jumlah aktiva-aktiva perusahaan yang diinginkan yang bisa didepresiasikan,
yang ditambahkan ke nilai pasar wajar. Nilai pasar yang wajar akan sama dengan
harga pembelian.
Perolehan Goodwill
Dari perspektif akuntansi, goodwill hanya akan
muncul pada buku apabila perusahaan membeli perusahaan lain,
dimana perusahaan membayar lebih besar dari kekayaan bersih yang bisa
diidentifikasi atas perusahaan yang dibelinya.
Pengukuran Goodwill
Bagaimana mengukur goodwill ? Begitu banyak
metode yang dipakai dalam menentukan goodwill, dimana masing-masing metode
masih mengalami pro dan kontra, yang pada akhirnya membuat goodwill sungguh
menjadi materi akuntansi yang sulit untuk dipahami. Berikut adalah salah satu
metode sederhana untuk mencari jumlah goodwill.
Contoh :
PT. Royal
Bali Cemerlang, adalah perusahaan exporter kerang mutiara. Karena meningkatknya
order atas kerang mutiara, PT Royal Bali Cemerlang mengalami kesulitan supply,
satu-satunya supplier kerang mutiara terbesar dari Jayapura, yaitu PT. Jarang
Untung, secara terus menerus melakukan kenaikan harga atas supply-nya. Dominasi
PT. Jarang Untung atas supply kerang mutiara menjadi kesulitan tersendiri bagi
PT. Royal Bali. Berdasarkan hasil rapat pemegang saham tanggal 31 Januari 2007
PT. Royal Bali Cemerlang memutuskan untuk membeli PT. Jarang Untung seharga Rp
6,000,000 secara tunai. Sebelum pembelian dilakukan neraca masing-masing
perusahaan adalah sebagai berikut :
NERACA PT. ROYAL BALI
CEMERLANG, Per 31 Januari 2007
|
ASSET
|
|
|
Aktiva Lancar
|
Rp
7,500,000
|
|
Aktiva Tetap
|
Rp
10,000,000
|
|
Aktiva lain-lain
|
Rp
650,000
|
|
Total Asset
|
Rp
18,150,000
|
|
LIABILITY
|
|
|
Hutang Dagang
|
Rp
800,000
|
|
Hutang Jangka Panjang
|
Rp
1,250,000
|
|
EQUITY
|
|
|
Modal
|
Rp
3,000,000
|
|
Laba di tahan
|
Rp
8,000,000
|
|
Laba Tahun Berjalan
|
Rp
5,100,000
|
|
Total Liability & Equity
|
Rp
18,150,000
|
NERACA PT. JARANG UNTUNG, Per
31 januari 2007
|
ASSET
|
|
|
Aktiva Lancar
|
Rp
1,000,000
|
|
Aktiva Tetap
|
Rp
5,000,000
|
|
Aktiva lain-lain
|
Rp
750,000
|
|
Total Asset
|
Rp
6,750,000
|
|
LIABILITY
|
|
|
Hutang Dagang
|
Rp
250,000
|
|
Hutang Jangka
Panjang
|
Rp
750,000
|
|
EQUITY
|
|
|
Modal
|
Rp
2,000,000
|
|
Laba di tahan
|
Rp
2,250,000
|
|
Laba Tahun
Berjalan
|
Rp
1,500,000
|
|
Total Liability & Equity
|
Rp
6,750,000
|
Pertanyaan :
1) Apakah ada
goodwill yang bisa diakui ?
2) Jika ada
berapa besarnya goodwill ?
3) Bagaimana
menjurnalnya ?
Mulai dengan
menentukan kekayaan bersihnya (net asset) dengan persamaan :
Net Asset = Total Asset – Liability
Net Asset = Total Asset – Liability
Net Asset =
Rp. 6.750.000 – Rp.1.000.000
Net Asset =
Rp.5.750.000
Merujuk
batasan pengakuan atas goodwill diatas, dimana goodwill merupakan selisih
antara Harga beli dengan Nilai kekayaan bersih (net asset) yang dapat
diidentifikasi atas perusahaan yang dibeli, maka besarnya goodwill dapat kita
tentukan :
Goodwill = Harga Beli – Net Asset
Goodwill = Rp.6.000.000 –
Rp.5.750.000
Goodwill =
Rp.250.000
Dicatat dengan jurnal :
|
Tanggal
|
Keterangan
|
Ref
|
Debet
|
Kredit
|
|
31 Jan
|
Aktiva Lancar
|
Rp
1,000,000
|
||
|
Aktiva Tetap
|
Rp
5,000,000
|
|||
|
Aktiva lain-lain
|
Rp
750,000
|
|||
|
Goodwill
|
Rp
250,000
|
|||
|
Hutang
Dagang
|
Rp
250,000
|
|||
|
Hutang
Jangka Panjang
|
Rp
750,000
|
|||
|
Kas
|
Rp
6,000,000
|
|||
|
Total
|
Rp
7,000,000
|
Rp
7,000,000
|
3.
Perjanjian tertentu seperti
frenchise dan lease.
Ciri-ciri aktiva
tetap tidak berwujud adalah:
a) Dapat
dipisahkan, yaitu kemampuannya untuk menjadi terpisah atau terbagi dari BPR dan
dapat dijual, dialihkan, dilisensikan, disewakan atau ditukarkan melalui suatu
kontrak terkait aset atau kewajiban secara individual atau secara bersama.
b) Muncul
dari hak kontraktual atau hak hukum lainnya, terlepas apakah hak tersebut dapat
dialihkan atau dapat dipisahkan dari BPR atau dari hak dan kewajiban lainnya.
c) Aset
tidak berwujud dapat diperoleh secara eksternal melalui perolehan secara
terpisah dan pertukaran aset, atau dihasilkan secara internal.
d) Aset
tidak berwujud hanya dapat diakui apabila berasal dari eksternal. Sedangkan
biaya penelitian dan pengembangan yang terkait dengan upaya menghasilkan aset
tidak berwujud secara internal tidak dapat diakui sebagai aset tidak berwujud,
kecuali merupakan bagian dari perolehan aset lain.
A.
Penyusutan
dan Amortisasi
Berdasarkan
pasal 6 ayat (1) undang-undang nomor 7 tahun 1983, undang-undang No. 36 tahun
2008 tentang pajak penghasilan (UU PPH) pembebanan biaya atas perolehan harta
berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
harus dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Penyusutan aktiva tetap dan
amortisasi harta tak berwujud tersebut dapat dibebankan sebagai pengurang
penghasilan (biaya fiskal).
B.
Amortisasi
Harta Tak Berwujud
Aktiva
tidak berwujud,secara komersial dikelompokkan menjadi aktiva dengan masa
manfaat yang dibatasi oleh hukum (ketentuan, persetujuan, atau sifat aktiva)
dan aktiva yang masa manfaatnya tidak terbatas, misalnya goodwill dan merek
dagang. Namun untuk perhitungan amortisasi dalam perpajakan, sesuai dengan
ketentuan pasal 11A UU PPh harta tidak berwujud dikelompokkan sama dengan
aktiva berwujud bukan bangunan, yaitu menjadi kelompok 1,2,3, dan 4 dengan masa
manfaat yang sama 4, 8, 16, dan 20 tahun. Dan menurut ketentuan pasal 11A UU
PPh amortisasi harga perolehan harta tak berwujud bervariasi antara metode
garis lurus dan metode pembebanan menurun. Tarif amortisasi berdasarkan metode
garis lurus, yaitu 25%, 12,5%, 6,25%, dan 5%, sedangkan tarif untuk pembebanan
menurun dua kali tarif garis lurus.
|
No
|
Kelompok
Harta Tak
Berwujud
|
Masa
Manfaat
|
Tarif
Penyusutan
|
|
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
|||
|
I
|
Kelompok
1
|
4
tahun
|
25%
|
50%
|
|
|
Kelompok
2
|
8
tahun
|
12,5%
|
25%
|
|
|
Kelompok
3
|
16
tahun
|
6,25%
|
12,5%
|
|
|
Kelompok
4
|
20
tahun
|
5%
|
10%
|
Ketentuan
mengenai amortisasi harta tak berwujud di atur dalam pasal 11 A UU PPh sebagai
berikut:
a.
Pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang mempunyai masa
manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan di amortisasi.
b.
Pengeluaran untuk biaya
pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun
terjadinya pengeluaran atau diamortisasi.
c.
Amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain dibidang penambangan minyak
dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
d.
Metode satuan produksi
dilakukan dengan menerapkan persentasi amortisasi yang besarnya setiap tahun sama
dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi
pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan
gas bumi dilokasi tersebut yang dapat diproduksi.
e.
Amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya,
dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi 20% setahun.
Amortisasi
per tahun = jumlah penambangan / penebangan x 20 %
Pengeluaran sebelum operasi komersial dikapitalisasi
dan diamortisasi sesuai debgab table masa manfaat dan tarif amortisasi. Apabila
terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak lainnya, maka nilai sisa
buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang
diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan tersebut.
Permenkeu
No. 248 /PMK.03/2008 mengatur mengenai amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnyauntuk bidang usaha tetentu,adalah
sebagai berikut.
Amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau
pada bulan produksi komersial (penjualan mulai dilakukan). Bidang usaha
tertentu itu adalah :
·
Bidang usaha kehutanan
yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat
berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari satu
tahun.
·
Bidang usaha perkebunan
tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan tanamannya dapat berproduksi
berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam dari satu tahun.
·
Bidang usaha
peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali
dan baru dapat dijual setelah ditanam lebih dari satu tahun.
Goodwiil
sebagai aktiva tetap tak berwujud yang tidak dapat diidentifikasi secara
spesifik dan tidak terpisah dari keberadaan perusahaan. Sebaliknya praktek
akuntansi komersial dapat melakukan amortisasi terhadap nilai goodwill dengan
masa manfaat terbatas atau selama 40 tahun amortisasi untuk yang masa manfaatnya
tak jelas, ketentuan perpajakan tidak mengatur secara jelas tentang amortisasi
itu.
Secara
ekonomis, goodwill menunjuk kepada kemampuan lebih perusahaan untuk memperoleh
penghasilan positif (laba) di atas laba normal (rata-rata) dari rata-rata perusahaan
sejenis. Goodwill merupakan kombinasi dari berbagai macam faktor dan melekat
pada keberadaan perusahaan. Karena alasan bahwa goodwill tidak dapat dipisahkan
dari keberadaan perusahaan, tampaknya dalam ketentuan perpajakan tidak
diperbolehkan untuk mengamortisasi goodwill.
Perolehan aset tidak berwujud
1.
Pembelian tunai
Jika aset tidak
berwujud diperoleh secara terpisah, biaya aset tidak berwujud biasanya dapat
diukur secara wajar. Hal ini akan tampak jelas jika pembayaran dilakukan dalam
bentuk uang tunai atau aset moneter lainnya. Biaya perolehan aset tidak
berwujud terdiri atas harga beli, termasuk bea masuk (impor), pajak yang
sifatnya tidak dapat direstitusi (nonrefundable)
dan semua pengeluaran yang dapat dikaitkan langsung dalam mempersiapkan aset
tsb sehingga siap digunakan sesuai dengan tujuan .
Tanggal
1 April 2009 PT A membeli hak patent dengan harga Rp.1.000.000.000.
Jurnal:
Patent Rp.
1.000.000.000 -
Kas - Rp.1.000.000.000
2.
Pembelian angsuran
Aset tidak
berwujud yang dibeli secara kredit, biaya perolehannya sebesar nilai tunainya.
Selisih antara jumlah pembayaran dengan nilai tunai dicatat sebagai beban bunga
ditangguhkan.
3.
Pertukaran aset
Aset tidak berwujud yang diperoleh
melalui pertukaran aset sejenis atau pertukaran
aset tidak sejenis. Biaya perolehan aset tidak berwujud diukur sebesar
nilai wajar aset yang diterima, yang sama dengan nilai wajar aset yang
diserahkan setelah diperhitungkan jumlah uang tunai atau kas yang diserahkan
(par 28).
PT
A menukar tanah dengan Patent. Nilai wajar tanah sebesar Rp.200.000.000. dan
kas yang dibayar PT A Rp.800.000.000.
Nilai
wajar tanah Rp.200.000.000
Kas
yang dibayarkan Rp.800.000.000
+
Biaya
perolehan patent Rp.1.000.000.000
Jurnal:
Patent Rp.1.000.000.000 -
Tanah - Rp.200.000.000
Kas - Rp.800.000.000
4.
Ditukar dengan
instrumen ekuitas perusahaan
Aset tidak
berwujud yang diperoleh dengan menukarnya dengan instrumen perusahaan pelapor,
biaya perolehannya adalah nilai wajar instrumen yang diterbitkan yaitu sama dengan
nilai wajar aset tsb (par 27).
PT A menukar 1.000.000 lembar saham
biasa dengan patent. Nilai nominal saham biasa sebesar Rp.10.000/lembar, harga
pasar saham biasa pada saat pertukaran sebesar Rp.11.000/lembar. Buatlah jurnal
untuk mencatat pertukaran saham.
5. Aset
tidak berwujud yang dihasilkan secara internal
Ada
dua tahap yaitu tahap penelitian (riset) dan tahap pengembangan.
Biaya perolehan
sebesar jumlah pengeluaran yang dilakukan sejak tanggal aset tidak berwujud
pertama kali memenuhi kriteria pengakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Djoko
Muljono,penerbit Andi,”Akuntansi Pajak”,Yoygakarta:2009


0 komentar:
Posting Komentar